Selasa, 10 September 2013

TEMBANG MACAPAT
Tembang merupakan karya sastra dengan aturan tertentu yang permbacaannya dilakukan dengan lagu tertentu berlaras atau bernuansa laras slendro dan pelog. Teks pada tembang macapat berbentuk puisi, menggunakan bahasa Jawa baru yang diikat oleh persajakan meliputi guru gatra, guru lagu, dan guru wilangan dan mengandung nada berbentuk lagu.
1.   Guru gatra ialah jumlah larik pada setiap pada.
2.   Guru lagu ialah huruf vocal terakhir pada setiap akhir gatra.
3.   Guru wilangan ialah jumlah wanda atau suku kata pada setiap gatra.
Teks lagu macapat ini mengandung nilai-nilai pendidikan, moral, spiritual, dan lain-lain yang diambil dari berbagai sumber seperti Wulangreh, Wedhatama, Tripama, dan sumber lainnya. Harapannya, agar nilai-nilai luhur yang dipesankan oleh para pujangga kita melalui teks macapat ini dapat direnungkan.

Jenis Dan Makna Tembang Macapat
1. MIJIL
Mijil artinya lahir. Hasil dari olah jiwa dan raga laki-laki dan perempuan menghasilkan si jabang bayi. Setelah 9 bulan lamanya berada di rahim sang ibu, sudah menjadi kehendak Hyang Widhi si jabang bayi lahir ke bumi. Disambut tangisan membahana waktu pertama merasakan betapa tidak nyamannya berada di alam mercapadha. Sang bayi terlanjur enak hidup di zaman dwaparayuga, namun harusnetepi titah Gusti untuk lahir ke bumi. Sang bayi mengenal bahasa universal pertama kali dengan tangisan memilukan hati. Tangisan yang polos, tulus, dan alamiah bagaikan kekuatan getaranmantra tanpa tinulis. Kini orang tua bergembira hati, setelah sembilan bulan lamanya menjaga sikap dan laku prihatin agar sang rena (ibu) dan si ponang (bayi) lahir dengan selamat. Puja puji selalu dipanjat agar mendapat rahmat Tuhan Yang Maha Pemberi Rahmat atas lahirnya si jabang bayi idaman hati.
Tembang Mijil ngemu sifal : prihatin, ngemurasa, lega

2. MASKUMAMBANG
Setelah si jabang bayi lahir, membuat hati orang tua bahagia tak terperi. Tiap hari suka ngudang melihat tingkah polah sang bayi yang lucu dan menggemaskan. Senyum si jabang bayi membuat riang bergembira yang memandang. Setiap saat sang bapa melantunkan tembang pertanda hati senang dan jiwanya terang. Takjub memandang kehidupan baru yang sangat menantang. Namun selalu waspada jangan sampai si ponang menangis dan demam hingga kejang. Orang tua takut kehilangan si ponang, dijaganya malam dan siang agar jangan sampai meregang. Buah hati bagaikan emas segantang. Menjadi tumpuan dan harapan kedua orang tuannya mengukir masa depan. Kelak jika sudah dewasa jadilah anak berbakti kepada orang tua, nusa dan bangsa.
Tembang maskumambang ngemu sifat : ngeres, nelangsa.

3. KINANTI
Semula berujud jabang bayi merah merekah, lalu berkembang menjadi anak yang selalu dikanthi-kanthi kinantenan orang tuannya sebagai anugrah dan berkah. Buah hati menjadi tumpuan dan harapan. Agar segala asa dan harapan tercipta, orang tua selalu membimbing dan mendampingi buah hati tercintanya. Buah hati bagaikan jembatan, yang dapat menyambung dan mempererat cinta kasih suami istri. Buah hati menjadi anugrah ilahi yang harus dijaga siang ratri. Dikanthi-kanthi (diarahkan dan dibimbing) agar menjadi manusia sejati. Yang selalu menjaga bumi pertiwi.
Tembang kinanthi ngemu sifat : tresna, asih, seneng.

4. SINOM
Sinom isih enom. Jabang bayi berkembang menjadi remaja sang pujaan dan dambaan orang tua dan keluarga. Manusia yang masih muda usia. Orang tua menjadi gelisah, siang malam selalu berdoa dan menjaga agar pergaulannya tidak salah arah. Walupun badan sudah besar namun remaja belajar hidup masih susah. Pengalamannya belum banyak, batinnya belum matang, masih sering salah menentukan arah dan langkah. Maka segala tindak tanduk menjadi pertanyaan sang bapa dan ibu. Dasar manusia masih enom (muda) hidupnya sering salah kaprah.
Tembang sinom ngemu sifat : grapyak.

5. DHANDHANGGULA
Remaja beranjak menjadi dewasa. Segala lamunan berubah ingin berkelana. Mencoba hal-hal yang belum pernah dirasa. Biarpun dilarang agama, budaya dan orang tua, anak dewasa tetap ingin mencobanya. Angan dan asa gemar melamun dalam keindahan dunia fana. Tak sadar jiwa dan raga menjadi tersiksa. Bagi anak baru dewasa, yang manis adalah gemerlap dunia dan menuruti nafsu angkara, jika perlu malah berani melawan orang tua. Anak baru dewasa, remaja bukan dewasa juga belum, masih sering terperdaya bujukan nafsu angkara dan nikmat dunia. Sering pula ditakut-takuti api neraka, namun tak akan membuat sikapnya  menjadi jera. Tak mau mengikuti kareping rahsa, yang ada selalu nguja hawa. Anak dewasa merasa rugi bila tak mengecap manisnya dunia. Tak peduli orang tua terlunta, yang penting hati senang gembira. Tak sadar tindak tanduknya bikin celaka, bagi diri sendiri, orang tua dan keluarga. Cita-citanya setinggi langit, sebentar-sebentar minta duit, tak mau hidup irit. Jika tersinggung langsung sengit. Enggan berusaha yang penting apa-apa harus tersedia. Jiwanya masih muda, mudah sekali tergoda api asmara. Lihat celana saja menjadi bergemuruh rasa di dada. Anak dewasa sering bikin orang tua ngelus dada. Bagaimanapun juga mereka buah dada hati yang dicinta. Itulah sebabnya orang tua tak punya rasa benci kepada pujaan hati. Hati-hati bimbing anak muda yang belum mampu membuka panca indera, salah-salah justru bisa celaka semuanya
Tembang dhandhanggula ngemu sifat : luwes, ngresepake.

6. ASMARANDANA
Asmaradana atau asmara dahana yakni api asmara yang membakar jiwa dan raga. Kehidupannya digerakkan oleh motifasi harapan dan asa asmara. Seolah dunia ini miliknya saja. Membayangkan dirinya bagaikan sang pujangga atau pangeran muda. Apa yang dicitakan haruslah terlaksana, tak pandang bulu apa akibatnya. Hidup menjadi terasa semakin hidup lantaran gema asmara membahana dari dalam dada. Biarlah asmara membakar semangat hidupnya, yang penting jangan sampai terlena. Jika tidak, akan menderita dikejar-kejar tanggungjawab hamil muda. Sebaliknya akan hidup mulia dan tergapai cita-citanya. Maka sudah menjadi tugas orang tua membimbing mengarahkan agar tidak salah memilih idola. Sebab sebentar lagi akan memasuki gerbang kehidupan baru yang mungkin akan banyak mengharu biru. Seyogyanya suka meniru tindak tanduk sang gurulaku, yang sabar membimbing setiap waktu dan tak pernah menggerutu. Jangan suka berpangku namun pandailah  memanfaatkan waktu. Agar cita-cita dapat dituju. Asmaradana adalah saat-saat yang menjadi penentu, apakah dirimu akan menjadi orang bermutu, atau polisi akan memburu dirimu. Salah-salah gagal menjadi menantu, malah akan menjadi seteru.
Tembang asmarandana ngemu sifat : kesemsem.

7. GAMBUH
Gambuh atau Gampang Nambuh, sikap angkuh serta acuh tak acuh, seolah sudah menjadi orang yang teguh, ampuh dan keluarganya tak akan runtuh. Belum pandai sudah berlagak pintar. Padahal otaknya buyar matanya nanar merasa cita-citanya sudah bersinar. Menjadikannya tak pandai melihat mana yang salah dan benar. Di mana-mana ingin diakui bak pejuang, walau hatinya tak lapang. Pahlawan bukanlah orang yang berani mati, sebaliknya berani hidup menjadi manusia sejati. Sulitnya mencari jati diri kemana-mana terus berlari tanpa henti.  Memperoleh sedikit sudah dirasakan banyak, membuat sikapnya mentang-mentang bagaikan sang pemenang. Sulit mawas diri, mengukur diri terlalu tinggi. Ilmu yang didapatkannya seolah menjadi senjata ampuh tiada tertandingi lagi. Padahal pemahamannya sebatas kata orang. Alias belum bisa menjalani dan menghayati. Bila merasa ada  yang kurang, menjadikannya sakit hati dan rendah diri. Jika tak tahan ia akan berlari menjauh mengasingkan diri. Menjadi pemuda pemudi yang jauh dari anugrah ilahi. Maka, belajarlah dengan teliti dan hati-hati. Jangan menjadi orang yang mudah gumunan dan kagetan. Bila sudah paham hayatilah dalam setiap perbuatan. Agar ditemukan dirimu yang sejati sebelum raga yang dibangga-banggakan itu menjadi mati.
Tembang gambuh ngemu sifat : semanak, lucu, guyon.

8. DURMA
Munduring tata krama. Dalam cerita wayang purwa dikenal  banyak tokoh dari kalangan “hitam” yang jahat. Sebut saja misalnya Dursasana, Durmagati,Duryudana. Dalam terminologi Jawa dikenal berbagai istilah menggunakan suku kata dur/dura (nglengkara) yang mewakili makna negatif (awon). Sebut saja misalnya : duraatmokodurokodursiladura sengkaraduracara (bicara buruk), durajaya,dursahasyadurmaladurnitidurtadurtamaudur, dst.  Tembang Durma, diciptakan untuk mengingatkan sekaligus  menggambarkan keadaan manusia yang cenderung berbuat buruk atau jahat. Manusia gemar udur atau cekcok, cari menang dan benernya sendiri, tak mau memahami perasaan orang lain. Sementara manusia cendrung mengikuti hawa nafsu yang dirasakan sendiri (nuruti rahsaning karep). Walaupun merugikan orang lain tidak peduli lagi. Nasehat bapa-ibu sudah tidak digubris dan dihiraukan lagi. Lupa diri selalu merasa iri hati. Manusia walaupun tidak mau disakiti, namun gemar menyakiti hati. Suka berdalih niatnya baik, namun tak peduli caranya yang kurang baik. Begitulah keadaan manusia di planet bumi, suka bertengkar, emosi, tak terkendali, mencelakai, dan menyakiti. Maka hati-hatilah, yang selalu eling dan waspadha.
Tembang durma ngemu sifat : galak, nesu.

9. PANGKUR
Bila usia telah uzur, datanglah penyesalan. Manusia menoleh kebelakang (mungkur) merenungkan apa yang dilakukan pada masa lalu. Manusia terlambat mengkoreksi diri, kadang kaget atas apa yang pernah ia lakukan, hingga kini yang ada  tinggalah menyesali diri. Kenapa dulu tidak begini tidak begitu. Merasa diri menjadi manusia rentan yang hina dina sudah tak berguna.  Anak cucu kadang menggoda, masih meminta-minta sementara sudah tak punya lagi sesuatu yang berharga. Hidup merana yang dia punya tinggalah penyakit tua. Siang malam selalu berdoa saja, sedangkan raga tak mampu berbuat apa-apa.  Hidup enggan mati pun sungkan. Lantas bingung mau berbuat apa. Ke sana-ke mari ingin mengaji, tak tahu jati diri, memalukan seharusnya sudah menjadi guru ngaji. Tabungan menghilang sementara penyakit kian meradang. Lebih banyak waktu untuk telentang di atas ranjang. Jangankan teriak lantang, yang ada hanyalah mengerang terasa nyawa hendak melayang. Sanak kadhang enggan datang, karena ingat ulahnya di masa lalu yang gemar mentang-mentang. Rasain loh bentar lagi menjadi bathang..!!
Tembang pangkur ngemu sifat : nepsu kang prihatin.

10. MEGATRUH
Megat ruh, artinya putusnya nyawa dari raga. Jika pegat tanpa aruh-aruh. Datanya ajal akan tiba sekonyong-konyong. Tanpa kompromi sehingga manusia banyak yang disesali.  Sudah terlambat untuk memperbaiki diri. Terlanjur tak paham jati diri. Selama ini menyembah tuhan penuh dengan pamrih dalam hati, karena takut neraka dan berharap-harap pahala surga. Kaget setengah mati saat mengerti kehidupan yang sejati. Betapa kebaikan di dunia menjadi penentu yang sangat berarti. Untuk menggapai kemuliaan yang sejati dalam kehidupan yang azali abadi. Duh Gusti, jadi begini, kenapa diri ini sewaktu masih muda hidup di dunia fana, sewaktu masih kuat dan bertenaga, namun tidak melakukan kebaikan kepada sesama. Menyesali diri ingat dulu kala telah menjadi durjana. Sembahyangnya rajin namun tak sadar sering mencelakai dan menyakiti hati sesama manusia. Kini telah tiba saatnya menebus segala dosa, sedih sekali ingat tak berbekal pahala. Harapan akan masuk surga, telah sirna tertutup bayangan neraka menganga di depan mata. Di saat ini manusia baru menjadi saksi mati, betapa penyakit hati menjadi penentu dalam meraih kemuliaan hidup yang sejati. Manusia tak sadar diri sering merasa benci, iri hati, dan dengki. Seolah menjadi yang paling benar, apapun tindakanya ia merasa paling pintar,  namun segala keburukannya dianggapnya demi membela diri.  Kini dalam kehidupan yang sejati, sungguh baru bisa dimengerti, penyakit hati sangat merugikan diri sendiri. Duh Gusti…!
Tembang megatruh ngemu sifat : getun, nglangut.

11. POCUNG
Pocung atau pocong adalah orang yang telah mati lalu dibungkus kain kafan. Itulah batas antara kehidupan mercapadha yang panas dan rusak dengan kehidupan yang sejati dan abadi. Bagi orang yang baik kematian justru menyenangkan sebagai kelahirannya kembali, dan merasa kapok hidup di dunia yang penuh derita. Saat nyawa meregang, rasa bahagia bagai lenyapkan dahaga mereguk embun pagi. Bahagia sekali disambut dan dijemput para leluhurnya sendiri. Berkumpul lagi di alam yang abadi azali. Kehidupan baru setelah raganya mati.
Tak terasa bila diri telah mati. Yang dirasa semua orang kok tak mengenalinya lagi. Rasa sakit hilang badan menjadi ringan. Heran melihat raga sendiri dibungkus dengan kain kafan.  Sentuh sana sentuh sini tak ada yang mengerti. Di sana-di sini ketemu orang yang menangisi. Ada apa kok jadi begini, merasa heran kenapa sudah bahagia dan senang kok masih ditangisi. Ketemunya para kadhang yang telah lama nyawanya meregang. Dalam dimensi yang tenang, hawanya sejuk tak terbayang. Kemana mau pergi terasa dekat sekali. Tak ada lagi rasa lelah otot menegang. Belum juga sadar bahwa diri telah mati. Hingga beberapa hari barulah sadar..oh jasad ini telah mati. Yang abadi tinggalah roh yang suci.
Sementara yang durjana, meregang nyawa tiada yang peduli. Betapa sulit dan sakit meregang nyawanya sendiri, menjadi sekarat yang tak kunjung mati. Bingung kemana harus pergi, toleh kanan dan kiri  semua bikin gelisah hati.  Seram mengancam dan mencekam. Rasa sakit kian terasa meradang. Walau mengerang tak satupun yang bisa menolongnya. Siapapun yang hidup di dunia pasti mengalami dosa. Tuhan Maha Tahu dan Bijaksana tak pernah luput menimbang kebaikan dan keburukan walau sejumput. Manusia baru sadar, yang dituduh kapir belum tentu kapir bagi Tuhan, yang dianggap sesat belum tentu sesat menurut Tuhan.  Malah-malah yang suka menuduh  menjadi tertuduh. Yang suka menyalahkan justru bersalah. Yang suka mencaci dan menghina justru orang yang hina dina. Yang gemar menghakimi orang akan tersiksa. Yang suka mengadili akan diadili. Yang ada tinggalah rintihan lirih tak berarti, “Duh Gusti pripun kok kados niki…! Oleh sebab itu, hidup kudu jeli, nastiti, dan ngati-ati. Jangan suka menghakimi orang lain yang tak sepaham dengan diri sendiri. Bisa jadi yang salah malah pribadi kita sendiri. Lebih baik kita selalu mawas diri, agar kelak jika mati arwahmu tidak nyasar menjadi memedi.



Jumat, 06 September 2013



KOLEKSI FILOLOGIKA MUSEUM JAWA TENGAH  RANGGAWARSITA

A.  Pengertian Filologika
Filologi mengkaji karya tulis, dalam hal ini karya sastra klasik, yang merupakan peninggalan leluhur atau nenek moyang. Dalam mengkajinya dibutuhkan ilmu pengetahuan yang mendalam baik dari segi kebahasaan, kesusastraan , maupun budaya.
       Teks-teks peninggalan sejarah banyak menyimpan dan mengandung pengetahuan. Pengetahuan menjadi core bagi perkembangan peradaban dan kebudayaan suatu daerah.
Karya satra atau naskah yang menjadi kajian filologi kebanyakan naskah kuna yang berada di museum, pesantren, dan masyarakat sebagai peninggalan nenek moyang mereka.
       Faktor yang menyebabkan masyarakat tidak tertarik untuk memahami dan mempelajari karya sastra tersebut karena persoalan kebahasaan, faktor pengetahuan, dan keinginan masyarakat yang kurang tentang naskah. Disinilah peran filologi dalam usaha menginterpretasikan karya sastra tersebut.
       Setelah mampu memahami bahasa yang terkandung di dalam teks, pengembangan terhadap informasi budaya dan khasanah pengetahuan dapat dilakukan. Disinilah letak dan peran filologi dalam melahirkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang baru.

B.   Kronologi Budaya Tulis
Perkembangan tradisi tulis sudah diawali sejak masa Prasejarah, dengan menggunakan symbol berupa goresan yang digunakan sebagai media komunikasi diantara komunitasnya. Setelah  adanya kontak dengan bangsa asing, bentuk goresan yang awalnya hanya symbol, berubah menjadi tulisan yang mempunyai arti dan bunyi tertentu sehingga dapat terbaca. Goresan tersebut kemudian disebut dengan aksara atau huruf.
Di Pulau Jawa, tradisi tulis di mulai sejak kehadiran kerajaan Tarumanegara pada pertengahan abad 5 Masehi, dengan bukti peninggalannya berupa prasasti Kebon Kopi, Ciaruteun, Jambu, dan Tugu dan ditulis dalam tipe aksara Palawa awal dan berbahasa Sansekerta.

Lahirnya filologi dilator belakangi oleh faktor-faktor :

1. Munculnya informasi tentang masa lampau di dalam sejumlah karya tulisan.
2. Anggapan adanya nilai-nilai yang terkandung dalam peninggalan tulisan masa lampau yang dipandang masih relevan dengan kehidupan sekarang.
3. Kondisi fisik dan substansi materi informasi akibat rentang waktu yang panjang.
4. Faktor social budaya yang melatarbelakangi penciptaan karya-karya tulisan masa lampau yang tidak ada lagi atau tidak sama dengan latar social pembacanya masa kini.
5. Keperluan untuk mendapatkan hasil pemahaman yang akurat.

Indonesia  adalah salah satu negara yang memiliki warisan kekayaan khazanah manuscript yang tergolong besar di dunia yang dituangkan melalui tulisan tangan sejak berabad-abad silam. Lewat tulisan tangan itu, masyarakat mengungkapkan ide-ide religiusnya mengenai manusia dan alam semesta. Di dalam naskah yang tersebar seantero nusantara itu, terdapat teks yang mengandung  nilai kebenaran, kebajikan dan keindahan.

1.      Babad Sri Giyan Liong Kun
      
    Koleksi filologika buku/naskah dimasukan dalam klasifikasi babad.
Deskripsi menceritakan penyamaran Raja Giyan Liong Kun ke Negara Tanglam. Naskah menggunakan huruf Jawa dan Bahasa Jawa Baru. Waktu yang disebutkan dalam tulisan adalah pada tahun 1890. Jumlah halaman sebanyak 463.

2.      Sastra Citra Soma Panca Driya
      
Koleksi filologika buku/naskah dimasukan dalam klasifikasi Sastra.

3.      Sastra Surat Perintah Raja
      
    Koleksi filologika buku/naskah dimasukan dalam klasifikasi Sastra.

4.      Serat Banyu Urip
      
Koleksi filologika buku/naskah dimasukan dalam klasifikasi Sastra. Deskripsi menceritakan pencarian air kehidupan.

5.      Sastra Serat Panca Driya Angling Driya
      
Koleksi filologika buku/naskah dimasukan dalam klasifikasi Sastra.
Deskripsi singkat menceritakan tentang tokoh Bndung Bandawasa sampai dengan hancurnya kerajaan Prambanan. Huruf Jawa dan bahasa Jawa Baru. Terdiri atas 228 halaman.

6.      Serat Widya Kirana
     
Koleksi filologika buku/naskah dimasukan dalam klasifikasi Sastra. Deskripsi singkat mengenai piwulang salah satu diantaranya adalah sifat dan perilaku anak berdasarkan saat atau masa kelahirannya. Huruf Jawa dan Bahasa Jawa Baru. Terdiri atas 43 halaman.

7.      Serat Pirasating Jalma 
      
Koleksi filologika buku/naskah dimasukan dalam klasifikasi Sastra. Deskripsi singkat mengenai ajaran tentang kehidupan dan sebagian lagi menceritakan Tokoh Imam Supingi yang mengajarkan ilmu tanda. Huruf Jawa dan Bahasa Jawa Baru. Terdiri atas 14 halaman.

8.      Serat Ahmat Muhammad
      
Koleksi filologika buku/naskah dimasukan dalam klasifikasi Sastra. Deskripsi tentang penggambaran Tokoh Ahmad Muhammad sebagai Nahkoda kapal. Huruf Jawa dan Bahasa Jawa Baru. Naskah terdiri atas 232 halaman.

9.      Serat Paniti Baya
      
Koleksi filologika buku/naskah dimasukan dalam klasifikasi Sastra. Deskripsi tentang tuntunan piwulang Sultan Agung tentang hidup bermasyarakat, adanya larangan yang harus dihindari jika ingin hidup selamat dari marabahaya. Huruf Jawa dan bahasa Jawa Baru. Tulisan serat asli pada tahun 1851.

10.  Serat Suluk Kaga Kridha Sopana
      
Koleksi filologika bumu/naskah dimasukan dalam klasifikasi Sastra. Deskripsi tentang ajaran kebatinan Islam yang disampaikan dengan cerita binatang. Huruf Jawa dan Bahasa Jawa Baru. Disalin pada tahun 1928. Terdiri atas 197 halaman.

11.  Serat Panca Driya (M.Ng.Jaya Sasmita)
      
Koleksi filologika buku/naskah dimasukan dalam klasifikasi Sastra. Huruf Jawa dan Bahasa Jawa Baru.

12.  Naskah Lontar
 
Koleksi lontar asal perolehan Gg. Abu Bakar 8 Jl.Tentara Pelajar Kabupaten Kebumen pada tanggal 11 Januari 1995. Kondisi lontar baik, ukuran panjang 44 cm dan lebar 3,5 cm. Terdiri atas jumlah halaman 12 lembar dan satu lembar kosong. Huruf Bali berbentuk bulat, besar dan sedikit agak miring serta tebal. Bahasa campuran Bali dan Jawa. Tulisan berbentuk tembang isi teks tidak lengkap dan tanpa menggunakan hiasan atau gambar. Desripsi teks berisi macam-macam penyakit dan obatnya. Dikelompokan dalam teks mantra.

13.  Al Quran Tulisan Tangan
      
Koleksi filologika buku asal perolehan Kota Surakarta pada tanggal 24 April 1996. Kondisi buku baik ukuran panjang 31 cm, lebar 21,5 cm, dan tebal 5,5 cm. Tulisan dan Bahasa Arab berharahat (tidak gundul). Pada tiap sudut sampulnya diberi hiasan daun-daunan sedangkan pada tepi dihiasin dengan motif banji.

14.  Naskah Lontar
      
Asal perolehan Dukuh Gadung, Desa Tuntang, kec.Tuntang kabupaten Semarang. Kondisi lontar baik ukuran panjang 31 cm dan lebar 3,5 cm. Terdiri atas halaman 114 lembar dan 2 lembar kosong. Huruf Jawa Baru dan Bahasa Jawa Bar ragam karma dan ngoko. Bentuk teks adalah tembang, dengan jenis tulisan Jawa Baru. Menceritakan tentang Prabu Angling Darma yang telah membunuh ular tampan karena telah berselingkuh dengan Nagagini, istri sahabatnya Nagaraja. Angling Darma dianugerahi ajian oleh Nagaraja berupa kemampuan dapat mengerti bahasa binatang, sehingga ia dapat berkomunikasi dengan dunia binatang. Pada akhir cerita, Angling Darma berubah menjadi seekor burung Belibis Putih.

15.  Naskah Lontar
      
Asal perolehan Jl. Duku I/22 rt.4/rw 4 Jajar Kota Surakarta pada tanggal 30 Juli 1998. Kondisi lontar baik, ukuran panjang 49,5 cm dan lebar 4 cm. Terdiri atas jumlah halaman 80 lembar. Huruf Jawa baru sedangkan isi pokok teks belom diketahui.

16.  Naskah Lontar
      
Asal perolehan Kabupaten Semarang pada tanggal 22 Februari 2001. Kondisi lontar baik ukuran panjang 20 cm dan lebar 2,5 cm. Terdiri atas jumlah halaman 60 lembar. Huruf Jawa Baru isi pokok teks belum diketahui.

17.  Naskah Lontar
      
Asal perolehan jalan Kemetiran Kidul 103 Kecamatan Gedong Tengah Yogyakarta pada tanggal 22 Februari 2001. Kondisi lontar baik, ukuran panjang 28 cm dan lebar 3,2 cm. Terdiri atas 60 lembar halaman. Judul naskah adalah Serat Rengganis. Huruf Jawa Baru bahasa Jawa Baru bentuk tulisan bulat ukuran miring sikap sedang goresan tebal warna tinta coklat sangat rapih dan jelas, hanya beberapa yang tidak begitu jelas. Bentuk teks tembang dan isi pokok menceritakan sejarah Baginda Ambyah yang dimulai dari kisah Rengganis ketika bertapa sampai dengan Umar Maya sakit hingga disembuhkan oleh seekor ular
Lontar (dari bahas Jawa: ron tal, “daun tal”) adalah daun siwalan atau tal (borassus flabellifer atau palmyra) yang dikeringkan dan dipakai sebagai bahan naskah kerajinan.