Kamis, 24 Oktober 2013

FONOLOGI DAN BIDANG PEMBAHASANNYA

Pengertian Fonologi
Menurut Kridalaksana (2002) dalam kamus linguistik, fonologi adalah bidang dalam linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya.

Bidang Pembahasannya
Fonologi mempunyai dua cabang kajian,
Pertama, fonetik yaitu cabang kajian yang mengkaji bagaimana bunyi-bunyi fonem sebuah bahasa direalisasikan atau dilafalkan. Fonetik juga mempelajari cara kerja organ tubuh manusia terutama yang berhubungan dengan penggunaan bahasa. Chaer (2007) membagi urutan proses terjadinya bunyi bahasa itu, menjadi tiga jenis fonetik, yaitu:
a)    fonetik artikulatoris atau fonetik organis atau fonetik fisiologi, mempelajari bagaimana  mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam menghasilkan bunyi bahasa serta bagaimana bunyi-bunyi itu diklasifikasikan.
b)    fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa sebagai peristiwa fisis atau fenomena alam (bunyi-bunyi itu diselidiki frekuensi getaranya, aplitudonya,dan intensitasnya.
c)     fonetik auditoris mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu oleh telinga kita.
Dari ketiga jenis fonetik tersebut yang paling berurusan dengan dunia lingusitik adalah fonetik artikulatoris, sebab fonetik inilah yang berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu dihasilkan atau diucapkan manusia. Sedangkan fonetik akustik lebih berkenaan dengan bidang fisika, dan fonetik auditoris berkenaan dengan bidang kedokteran.
Kedua, fonemik yaitu  kesatuan bunyi terkecil suatu bahasa yang berfungsi membedakan makna. Chaer (2007) mengatakan bahwa fonemik mengkaji bunyi bahasa yang dapat atau berfungsi membedakan makna kata. Misalnya bunyi [l], [a], [b] dan [u]; dan [r], [a], [b] dan [u] jika dibandingkan perbedaannya hanya pada bunyi yang pertama, yaitu bunyi [l] dan bunyi [r]. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedua bunyi tersebut adalah fonem yang berbeda dalam bahasa Indonesia, yaitu fonem /l/ dan fonem /r/.

Kedudukan Fonologi dalam Cabang-cabang Linguistik
Sebagai bidang yang berkosentrasi dalam deskripsi dan analisis bunyi-bunyi ujar, hasil kerja fonologi berguna bahkan sering dimanfaatkan oleh cabang-cabang linguitik yang lain, misalnya morfologi, sintaksis, dan semantik.
1.  Fonologi dalam cabang Morfologi
Bidang morfologi yang kosentrasinya pada tataran struktur internal kata sering memanfaatkan hasil studi fonologi, misalnya ketika menjelaskan morfem dasar {butuh} diucapkan secara bervariasi antara [butUh] dan [bUtUh] serta diucapkan [butuhkan] setelah mendapat proses morfologis dengan penambahan morfem sufiks   {-kan}.
2.  Fonologi dalam cabang Sintaksis
Bidang sintaksis yang berkosentrasi pada tataran kalimat, ketika berhadapan dengan kalimat kamu berdiri. (kalimat berita), kamu berdiri? (kalimat tanya), dan kamu berdiri! (kalimat perintah) ketiga kalimat tersebut masing-masing terdiri dari dua kata yang sama tetapi mempunyai maksud yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dijelaskan dengan memanfaatkan hasil analisis fonologis, yaitu tentang intonasi, jedah dan tekanan pada kalimat yang ternyata dapat membedakan maksud kalimat, terutama dalam bahasa Indonesia.
3. Fonologi dalam cabang Semantik
Bidang semantik, yang berkosentrasi pada persoalan makna kata pun memanfaatkan hasil telaah fonologi. Misalnya dalam mengucapkan sebuah kata dapat divariasikan, dan tidak. Contoh kata [tahu], [tau], [teras] dan [t∂ras] akan bermakna lain. Sedangkan kata duduk dan didik ketika diucapkan secara bervariasi [dudU?], [dUdU?], [didī?], [dīdī?] tidak membedakan makna. Hasil analisis fonologislah yang membantunya.

Manfaat Fonologi dalam Penyusunan Bahasa
Ejaan adalah peraturan penggambaran atau pelambangan bunyi ujar suatu bahasa. Karena bunyi ujar adalah dua unsur, yaitu segmental dan suprasegmental, ejaan pun menggambarkan atau melambangkan kedua unsur bunyi tersebut.
Perlambangan unsur segmental bunyi ujar tidak hanya bagaimana melambangkan bunyi-bunyi ujar dalam bentuk tulisan atau huruf, tetapi juga bagaimana menuliskan bunyi-bunyi ujar dalam bentuk kata, frase, klausa, dan kalimat, bagaimana memenggal suku kata, bagaimana menuliskan singkatan, nama orang, lambang-lambang teknis keilmuan dan sebagainya. Perlambangan unsure suprasegmental bunyi ujar menyangkut bagaimana melambangkan tekanan, nada, durasi, jedah dan intonasi. Perlambangan unsure suprasegmental ini dikenal dengan istilah tanda baca atau pungtuasi.

Tata cara penulisan bunyi ujar ini bias memanfaatkan hasil kajian fonologi,terutama hasil kajian fonemik terhadap bahasa yang bersangkutan. Oleh karena itu, hasil kajian fonemik terhahadap ejaan suatu bahasa disebut ejaan fonemis.

Rabu, 02 Oktober 2013

PENERAPAN TINGKAT TUTUR BAHASA JAWA

Bahasa Jawa merupakan bahasa yang mengenal adanya tingkat tutur atau undha-usuk basa atau unggah-ungguh basa. Adanya tingkat tutur dalam bahasa Jawa merupakan adat sopan santun berbahasa Jawa. Adat sopan santun ini mencerminkan perilaku kebahasaan yang sebenarnya juga tercermin dari perilaku masyarakat.
TINGKAT TUTUR BAHASA JAWA


                       Lugu
NGOKO
                                Alus 


                                      
                       Lugu
KRAMA
                                Alus

      
                     

1.   NGOKO ALUS
Ngoko lugu adalah ragam pemakaian bahasa Jawa yang seluruh kalimatnya dibentuk dengan kosakata ngoko, afiksnya (awalan,akhiran) juga menggunakan ngoko.
Rumus:

                  Tembung sedaya ngoko + afiks ngoko


Ragam ngoko lugu digunakan untuk:
a.    Berkomunikasi dengan orang yang kedudukan atau statusnya lebih rendah, missal antara guru dengan murid, orang tua dengan anaknya, dan antara orang yang sudah akrab.
b.   Berkomunikasi yang sifatnya umum, misalnya penggumuman iklan, menawarkan barang, dan juga dapat digunakan dalam penulisan surat kabar.
Tuladha:
a.    Dude Herlino mangan tela goreng.
Dude Herlino makan singkong goreng.
b.   Syahrini gawe buku sing irah-irahane “sesuatu”.
Syahrini membuat buku yang berjudul “sesuatu”.

2.  NGOKO ALUS
Ngoko alus adalah ragam pemakaian bahasa Jawa yang dasarnya adalah leksikon ngoko, namun juga menggunakan leksikon krama inggil, dan atau karma andhap, afiks yang digunakan adalah afiks ngoko, kecuali awalan –kok dan akhiran –mu yang diganti dengan kata panjenengan.
Rumus:

           Ngoko + krama inggil + krama andhap + afiks ngoko

Kaidah pembentukan ngoko alus sebagai berikut:
a.    Leksikon ngoko untuk menghormati orang lain diganti menjadi leksikon karma inggil, kalo tidak ada menggunakan leksikon ngoko tersebut.
b.   Leksikon ngoko yang berhubungan dengan diri pribadi walaupun memiliki karma inggil, tetap digunakan leksikon ngoko (tidak boleh menggunakan karma inggil untuk diri pribadi).
c.   Leksikon ngoko yang berhubungan dengan hewan, tumbuh-tumbuhan, walaupun memiliki kosakata karma inggil, namun tetap menggunakan ngoko.
d.   Awalan, sisipan, akhiran tetap menggunakan ngoko, kecuali awalan –kok, dan akhiran
–mu diganti dengan kata panjenengan.

Tuladha:
a.    Perkutut panjenengan njaluk ngombe.
Perkutut mu minta minum.
b.   Pakdhe mengko arep tindak karo sapa?
Pakdhe nanti akan pergi dengan siapa?
c.   Pak lurah sing anyar iku asmane sapa?
Pak lurah yang baru itu namanya siapa?

3.   KRAMA LUGU
Krama lugu adalah ragam pemakaian bahasa Jawa yang seluruh kalimatnya dibentuk dengan leksikon karma, begitu juga afiksnya menggunakan karma.
Rumus:

                     Sedaya krama + afiks krama

Kaidah pembentukan krama lugu sebagai berikut:
a.    Leksikon ngoko yang memiliki padanan dalam leksikon krama, maka diubah menjadi leksikon krama, kecuali yang memiliki leksikon krama, maka tetap menggunakan leksikon ngoko.
b.   Afiks ngoko diubah menjadi krama, misalnya awalan di- diubah menjadi dipun- , awalan kok- diubah menjadi sampeyan, ater-ater dak- diubah menjadi kula.
Tuladha:
a.    Sampeyan sampun nedha Pak?
Anda sudah makan Pak?
b.   Samenika semah kula nyambut damel wonten Boyolali.
Sekarang istri saya bekerja di Boyolali.
c.   Mas Danu dipunbektakaken apel kalih kilo dening Bapak.
Mas Danu dibawakan apel dua kilo oleh Bapak.

4.  KRAMA ALUS
Krama alus adalah bentuk unggah-unguh bahasa Jawa yang semua kosa katanya terdiri atas leksikon krama, krama inggil, dan krama andhap.
Rumus:

       Tembung krama + krama inggil + krama andhap + afiks krama

Kaidah pembentukan ragam krama alus, sebagai berikut:
a.    Leksikon ngoko yang memiliki padanan krama inggil maka diubah menjadi krama inggil, kecuali yang berhubungan dengan diri pribadi tetap menggunakan krama.
b.   Apabila leksikon ngoko tidak memiliki padanan dalam leksikon krama inggil, tetapi hanya memiliki padanan dalam leksikon krama, maka diubah menjadi krama saja.
c.   Apabila leksikon ngoko tidak memiliki padanan dalam leksikon krama inggil, maupun krama, tetapi hanya memiliki padanan dalam leksikon ngoko maka diubah menjadi ngoko.
d.   Semua afiks diubah menjadi krama. Missal, di- menjadi dipun-, kok- menjadi panjenengan, akhiran –e diubah menjadi –ipun, -en menjadi panjenengan.
Tuladha:
a.    Menika wangkingan kagunganipun sinten?
Ini keris milik siapa?
b.   Bapak gerah sampun tigang dinten menika.
Bapak sakit sudah tiga hari ini.
c.   Ibu sampun dhangan saking gerahipun.
Ibu sudah sembuh dari sakitnya.
d.   Jam 4 enjang kalawau, simbah sampun wungu.
Jam 4 pagi tadi, Kakek sudah bangun.