Selasa, 14 Januari 2014

4 BULANAN ATAU MAPATI


Saat janin (embrio) berusia 120 hari atau 4 bulan dimulailah kehidupan dengan ruh dan saat itulah ditentukan bagaimana ia berkehidupan selanjutnya di dunia sampai di akhirat. Ada baiknya mengadakan upacara 4 bulanan atau mapati.
Prosesi 4 bulanan atau mapati bermaksud untuk berdoa sebagai sikap bersyukur, ketundukan dan kepasrahan, mengajukan permohonan kepada Allah agar nanti anak lahir sebagai manusia yang utuh, sempurna, sehat, dianugerahi rezeki yang baik dan lapang, berumur panjang yang penuh dengan nilai-nilai ibadah, beruntung di dunia dan di akhirat.
Dalam acara 4 bulanan atau mapati di Tegal makanan yang di sajikan yaitu seperti tumpeng, juwada pasar, pisang 7 rupa, rujak, waluh yang ditaruh uang logam.
Prosesi 4 bulanan atau mapati di Tegal dilaksanakan dengan mengundang keluarga dan para tetangga terdekat. Jika para tamu undangan sudah berkumpul maka acara 4 bulanan atau mapati bisa dimulai dan yang memimpin acara ini adalah sesepuh atau pak kyai, biasanya diawali dengan pak kyai tersebut memberikan ceramah mengenai acara 4 bulanan atau mapati, tujuannya apa?. Selanjutnya para tamu undangan membaca surat lukman satu kali bersama-sama selanjutnya membaca tahlil dan yang terakhir berdoa. Setelah berdoa makanan yang sudah disediakan diberikan kepada para tamu undangan yang datang.

MITONI (TEBUS WETENG)


Mitoni berasal dari kata pitu (7), upacara ini dilaksanakan ketika janin berumur 7 bulan. Makna umur 7 bulan yaiku badan sudah sempurna. Miturut orang Jawa 7 bulan merupakan proses dimana manusia sudah berwujud nyata dan sempurna.
Tujuan dari prosesi ini adalah untuk keselamatan calon bayi dan ibu atau untuk tolak bala.
Proses acara mitoni tidak jauh berbeda dengan acara ngupati atau mapati atau 4 bulanan. Dalam acara mitoni makanan yang disajikan tidak jauh berbeda dengan acara 4 bulanan yang membedakan adalah kupat lepet dan lolos. Makanannya yaitu tumpeng, juwada pasar, kupat lepet, pisang 7 rupa, lolos, waluh ditaruh uang logam, rujak, rujaknya terbuat dari bermacam-macam buah-buhan.
Prosesi dilaksanakan dengan mengundang keluarga dan para tetangga. Jika para tamu undangan sudah berkumpul acara mitoni atau tebus weteng bisa di mulai yang memimpin acara ini adalah sesepuh atau biasanya pak kyai, biasanya acaranya diawali dengan pak kyai menyampaikan ceramah mengenai mitoni atau tebus weteng. Selanjutnya para tamu undangan membaca surat lukman satu kali selanjutnya membaca tahlil dan yang terakhir berdoa. Setelah berdoa makanan yang sudah disediakan diberikan kepada para tamu undangan yang datang.


SIFAT-SIFATE AWAKE MANUNGSA SING APIK


1.         Awake                   : ramping
2.         Alise                      : nanggal sepisan
3.         Athi-athine          : ngundhup turi
4.         Astane                  : ngandhewa gadhing
5.         Bathuke               : nyela cendhani
6.         Bangkekane       : nawon kemit
7.         Bokonge              : manjang ngilang
8.         Brengose             : nguler keket
9.         Cahyane              : ngalentrih
10.    Cahyane              : sumunar
11.    Drijine                    : mucuk eri
12.    Gulune                  : ngolan-ngolan
13.    Idepe                      : tumengu ing tawang
14.    Irunge                     : ngundhup mlati
15.    Kempole               : nyikil walang
16.    Lakune                  : macan luwe
17.    Lembehane          : blarak sempal
18.    Lambene               : nggula satemlik
19.    Lengene               : nggandhewa pinenthang
20.    Mripate                 : ndamar kanginan
21.    Pakulitane             : ngulit langsep
22.    Pipine                     : nduren sajuring
23.    Rambute               : ngembang bakung
24.    Solahe                  : merak ati
25.    Susune                 : nyengkir gadhing
26.    Swarane               : ngombak banyu
27.    Tangane              : nggandhewa pinenthang
28.    Untune                 : miji timun
29.    Watake                 : andhap asor


JENENGE WEKTU


1.          Byar                              : pukul 06.00
2.          Gumantel                       : pukul 09.00
3.          Wisan gawe                    : pukul 10.00
4.          Pesat sawet                      : pukul 10.00
5.          Bedhuk dhuhur               : pukul 12.00
6.          Lingsir kulon                  : pukul 12.30
7.          Tengange                       : pukul 11.30
8.          Ngasar                           : pukul 15.00
9.          Tibra layu                      : pukul 17.30
10.      Magrib, surup                 : pukul 18.00
11.      Ba’da magrib                   : pukul 18.30
12.      Ngisak                           : pukul 19.00
13.      Ba’da ngisak                    : pukul 20.00
14.      Sirep bocah                     : pukul 22.00
15.      Bedug bengi                    : pukul 24.00
16.      Lingsir bengi                  : pukul 01.00
17.      Titiyoni                         : pukul 02.00
18.      Jago kluruk sepisan         : pukul 03.00
19.      Jago kluruk ping pindo   : pukul 04.00
20.      Jago kluruk ping telu      : pukul 05.00

21.      Saput lemah                   : pukul 05.30

SEJARAH WAYANG



        Menelusuri asal usul wayang secara ilmiah memang bukan hal yang mudah. Sejak zaman penjajahan Belanda hingga kini banyak para cendekiawan dan budayawan berusaha meneliti dan menulis tentang wayang. Ada persamaan, namun tidak sedikit yang saling silang pendapat. Hazeu berbeda pendapat dengan Rassers begitu pula pandangan dari pakar Indonesia seperti K. P. A. Kusumadi laga, Ranggawarsita, Suroto, Sri Mulyono dan lain-lain.
Namun semua cendikiawan tersebut jelas membahas wayang Indonesia dan menyatakan bahwa wayang itu sudah ada dan berkembang sejak zaman kuna, sekitar tahun 1500 SM, jauh sebelum agama dan budaya dari luar masuk ke Indonesia.
Jadi, wayang dalam bentuknya yang masih sederhana adalah asli Indonesia, yang dalam proses perkembangan setelah bersentuhan dengan unsur-unsur lain, terus berkembang maju sehingga menjadi ujud dan isinya seperti sekarang ini. Sudah pasti perkembangan itu tidak akan berhenti, melainkan akan berlanjut di masa-masa mendatang.
Wayang yang kita lihat sekarang ini berbeda dengan wayang pada masa lalu, begitu pula wayang di masa depan akan berubah sesuai zamannya. Tidak ada sesuatu seni budaya yang mandeg atau berhenti. Seni budaya akan selalu berubah dan berkembang, namun perubahan seni budaya wayang ini tidak berpengaruh terhadap jati dirinya dan termaktub dalam sejarah wayang, karena wayang telah memiliki landasan yang kokoh. Landasan utamanya adalah sifat hamot. hamong, hamemangkat yang menyebabkannya memiliki daya tahan dan daya kembang wayang sepanjang zaman.
Hamot adalah keterbukaan untuk menerima pengaruh dan masukan dari dalam dan luar, hamong adalah kemampuan untuk menyaring unsur-unsur baru itu sesuai nilai-nilai wayang yang ada, untuk selanjutnya diangkat menjadi nilai-nilai yang cocok dengan wayang sebagai bekal untuk bergerak maju sesuai perkembangan masyarakat. Hamemangkat atau me-mangkat sesuatu nilai menjadi nilai baru. Dan, ini jelas tidak mudah. Harus melalui proses panjang yang dicerna dengan cermat. Wayang dan seni pedalangan sudah membuktikan kemampuan itu, berawal dari zaman kuna, zaman Hindu, masuknya agama Islam, zaman penjajahan hingga zaman merdeka, dan pada masa pembangunan nasional dewasa ini. Kehidupan global juga merupakan tantangan dan sudah barang tentu wayang akan diuji ketahanannya dalam menghadapinya.
Periodisasi
Periodisasi perkembangan budaya wayang juga merupakan bahasan yang menarik. Bermula zaman kuna ketika nenek moyang bangsa Indonesia masih menganut animisme dan dinamisme. Dalam alam kepercayaan animisme dan dinamisme ini diyakini roh orang yang sudah meninggal masih tetap hidup, dan semua benda itu bernyawa serta memiliki kekuatan Roh-roh itu bisa bersemayam di kayu-kayu besar, batu, sungai, gunung dan lain-lain. Paduan dari animisme dan dinamisme ini menempatkan roh nenek moyang yang dulunya berkuasa, tetap mempunyai kuasa. Mereka terus dipuja dan dimintai pertolongan.
Untuk memuja roh nenek moyang iai, selain melakukan ritual tertentu mereka mewujudkannya dalam bentuk gambar dan patung Roh nenek moyang yang dipuja ini disebut hyang atau dahyang.
Orang bisa berhubungan dengan para hyang ini untuk minta pertolongan dan perlindungan, melalui seorang medium yang disebut syaman. Ritual pemujaan nenek moyang, hyang dan syaman inilah yang merupakan asal mula pertunjukan wayang. Hyang menjadi wayang, ritual kepercayaan itu menjadi jalannya pentas dan syaman menjadi dalang. Sedangkan ceritanya adalah petualangan dan pengalaman nenek moyang. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa asli yang hingga sekarang masih dipakai. Jadi, wayang itu berasal dari ritual kepercayaan nenek moyang bangsa Indonesia disekitar tahun 1500 SM.
Berasal dari zaman animisme, wayang terus mengikuti perjalanan sejarah bangsa sampai pada masuk nya agama Hindu di Indonesia sekitar abad keenam, Bangsa Indonesia mulai bersentuhan dengan peradaban tinggi dan berhasil membangun kerajaan-kerajaan seperti Kutai, Tarumanegara, bahkan Sriwijaya yang besar dan jaya. Pada masa itu wayang pun berkembang pesat, mendapat fondasi yang kokoh sebagai suatu karya seni yang bermutu tinggi.
Pertunjukan roh nenek moyang itu kemudian dikembangkan dengan cerita yang lebih berbobot, Ramayana dan Mahabarata. Selama abad X hingga XV, wayang berkembang dalam rangka ritual agama dan pendidikan kepada masyarakat. Pada masa ini telah mulai ditulis berbagai cerita tentang wayang. Semasa kerajaan Kediri, Singasari dan Majapahit kepustakaan wayang mencapai puncaknya seperti tercatat pada prasasti di candi-candi, karya sastra yang ditulis oleh Empu Sendok, Empu Sedah, Empu Panuluh, Empu Tantular dan lain-lain.
Karya sastra wayang yang terkenal dari zaman Hindu itu antara lain Baratayuda, Arjuna Wiwaha, Sudamala, sedangkan pergelaran wayang sudah bagus, diperkaya lagi dengan penciptaan peraga wayang terbuat dari kulit yang dipahat, diiringi gamelan dalam tatanan pentas yang bagus dengan cerita Ramayana dan Mahabarata. Pergelaran wayang mencapai mutu seni yang tinggi sampai-sampai digambarkan hananonton ringgit manangis asekel, tontonan wayang sangat mengharukan. Menarik untuk diperhatikan cerita Ramayana dan Mahabarata yang asli berasal dari India, telah diterima dalam pergelaran wayang Indonesia sejak zaman Hindu hingga sekarang. Wayang seolah-olah identik dengan Ramayana dan Mahabarata. Namun perlu dimengerti bahwa Ramayana dan Mahabarata versi India itu sudah banyak berubah. Berubah alur ceritanya; kalau Ramayana dan Mahabarata India merupakan cerita yang berbeda satu dengan lainnya, di Indonesia menjadi satu kesatuan.
Dalam pewayangan cerita itu bermula dari kisah Ramayana terus bersambung dengan Mahabarata, malahan dilanjutkan dengan kisah zaman kerajaan Kediri. Mahabarata asli berisi 20 parwa, sedangkan di Indonesia tinggal 18 parwa.
Yang sangat menonjol perbedaannya adalah falsafah yang mendasari kedua cerita itu, lebih-lebih setelah masuknya agama Islam. Falsafah Ramayana dan Mahabarata yang Hinduisme diolah sedemikian rupa sehingga menjadi diwarnai nilai-nilai agama Islam. Hal ini antara lain tampak pada kedudukan dewa, garis keturunan yang patriarkhat, dan sebagainya.
Sejarah Wayang diperkaya lagi dengan begitu banyaknya cerita gubahan baru yang bisa disebut lakon carangan , maka Ramayana dan Mahabarata benar-benar berbeda dengan aslinya. Begitu pula, Ramayana dan Mahabarata dalam pewayangan tidak sama dengan Ramayana dan Mahabarata yang berkembang di Myanmar, Thailand, Kamboja, dan di tempat-tempat lainnya. Ramayana dan Mahabarata dari India itu sudah menjadi Indonesia karena di warnai oleh budaya asli dan nilai-nilai budaya yang ada di Nusantara.
Di Indonesia, walaupun cerita Ramayana dan Mahabarata sama-sama berkembang dalam pewayangan, tetapi Mahabarata digarap lebih tuntas oleh para budayawan dan pujangga kita. Berbagai lakon carangan dan sempalan, kebanyakan mengambil Mahabarata sebagai inti cerita.
Masuknya agama Islam di Indonesia pada abad ke-15, membawa perubahan besar terhadap kehidupan masyarakat Indonesia. Begitu pula wayang telah mengalami masa pembaharuan. Pembaharuan besar-besaran, tidak saja dalam bentuk dan cara pergelaran wayang, melainkan juga isi dan fungsinya. Berangkat dari pembahan nilai-nilai yang dianut, maka wayang pada zaman Demak dan seterusnya telah mengalami penyesuaian dengan zamannya. Bentuk wayang yang semula realistik proporsional seperti tertera dalam relief candi-candi, distilir menjadi bentuk imajinatif seperti wayang sekarang ini. Selain itu, banyak sekali tambahan dan pembaharuan dalam peralatan seperti kelir atau layar, blencong atau lampu, debog yaitu pohon pisang untuk menancapkan wayang, dan masih banyak lagi.
Para wali dan pujangga Jawa mengadakan pembaharuan yang berlangsung terus menerus sesuai perkembangan zaman dan keperluan pada waktu itu, utamanya wayang digunakan sebagai sarana dakwah Islam. Sesuai nilai Islam yang dianut, isi dan fungsi wayang telah bergeser dari ritual agama (Hindu) menjadi sarana pendidikan, dakwah, penerangan, dan komunikasi massa. Ternyata wayang yang telah diperbaharui kontekstual dengan perkembangan agama Islam dan masyarakat, menjadi sangat efektif untuk komunikasi massa dalam memberikan hiburan serta pesan-pesan kepada khalayak. Fungsi dan peranan ini terus berlanjut hingga dewasa ini.
Perkembangan wayang semakin meningkat pada masa setelah Demak, memasuki era kerajaan-kera-jaan Jawa sepeti Pajang, Mataram, Kartasura, Surakarta, dan Yogyakarta. Banyak sekali pujangga-pujangga yang menulis tentang wayang, menciptakan wayang-wayang baru. Para seniman wayang banyak membuat kreasi-kreasi yang kian memperkaya wayang.
Begitu pula para dalang semakin profesional dalam menggelar pertunjukan wayang, tak henti-hentinya terus mengembangkan seni tradisional ini. Dengan upaya yang tak kunjung henti ini, membuahkan hasil yang menggembirakan dan membanggakan, wayang dan seni pedalangan menjadi seni yang bermutu tinggi, dengan sebutan adiluhung. Wayang terbukti mampu tampil sebagai tontonan yang menarik sekaligus menyampaikan pesan-pesan moral keutamaan hidup.
Dari landasan perkembangan wayang tersebut di atas, tampak bahwa memang wayang itu berasal dari pemujaan nenek moyang pada zaman kuna, dikembangkan pada zaman Hindu, kemudian diadakan pembaharuan pada zaman masuknya agama Islam dan Blencong, alat penerangan pada pertunjukkan Wayang Kulit, juga mempunyai makna simbolik memanfaatkan masukan serta pengaruh budaya lain baik dari dalam maupun dari luar Indonesia. terus mengalami perkembangan dalam zaman kerajaan-kerajaan Jawa, zaman penjajahan, zaman kemerdekaan hingga kini.
Indonesia Asli
Asal-usul wayang menjadi jelas, asli Indonesia yang berkembang sesuai budi daya masyarakat dengan Wayang Indonesia memiliki ciri khas yang merupakan g jatidirinya. Sangat mudah dibedakan dengan seni budaya sejenis yang berkembang di India, Cina, dan negara-negara dikawasan Asia Tenggara. Tidak saja berbeda bentuk serta cara pementasannya, cerita Ramayana dan Mahabarata yang digunakan juga berbeda. Cerita terkenal ini sudah digubah sesuai nilai dan kondisi  yang hidup dan berkembang di Indonesia.
Keaslian wayang bisa ditelusuri dari penggunaan bahasa seperti wayang, kelir, blencong, kepyak, dalang: kotak, dan lain-lain. Kesemuanya itu bahasa Jawa asli. Berbeda misalnya dengan cempala yaitu alat pengetuk  kotak, adalah bahasa Sanskerta. Wayang asli menerima pengaruh dari India. Bahasa dalam wayang ini terus berkembang secara pelan namun pasti dari bahasa Jawa Kuna atau bahasa Kawi, bahasa Jawa Baru dan bukan  tidak mungkin kelak wayang ini akan menggunakan  bahasa Indonesia. Wayang selalu menggunakan bahasa  campuran yang biasa disebut basa rinengga ;maksudnya bahasa yang telah disusun indah sesuai kegunaannya. Dalam seni pedalangan, kedudukan sastra amat penting dan harus dikuasai dengan baik oleh para dalang.
Bentuk peraga wayang juga mengujudkan keaslian wayang Indonesia, karena bentuk stilasi peraga wayang yang imajinatif dan indah itu merupakan proses panjang seni kriya wayang yang dilakukan oleh para pujangga dan seniman perajin Indonesia sejak dahulu. Begitu majunya seni kriya wayang ini, banyak yang berpendapat bahwa dalam aspek kriya dan seni rupa. wayang sudah mencapai tingkat sempurna. Penilaian ini obyektif, tidak berlebihan, apabila dibandingkan dengan bentuk-bentuk peraga wayang atau seni boneka dari mancanegara.
Sarat dengan Falsafah
Kekuatan utama budaya wayang, yang juga merupakan jati dirinya, adalah kandungan nilai falsafahnya. Wayang yang tumbuh dan berkembang sejak lama itu ternyata berhasil menyerap berbagai nilai-nilai keutamaan hidup dan terus dapat dilestarikan dalam berbagai pertunjukan wayang.
Bertolak dari pemujaan nenek moyang, wayang yang sudah sangat religius, mendapat masukan agama Hindu, sehingga wayang semakin kuat sebagai media ritual dan pembawa pesan etika. Memasuki pengaruh agama Islam, kokoh sudah landasan wayang sebagai tontonan yang mengandung tuntunan yaitu acuan moral budi luhur menuju terwujudnya akhlaqul karimah
Proses akulturasi kandungan isi wayang itu meneguhkan posisi wayang sebagai salah satu sumber etika dan falsafah yang secara tekun dan berlanjut disampaikan kepada masyarakat. Oleh karena itu ada pendapat, wayang itu tak ubahnya sebagai buku falsafah. yaitu falsafah Nusantara yang bisa dipakai sumber etika dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat.
Wayang bukan lagi sekedar tontonan bayang-bayang atau shadow play, melainkan sebagai wewa-yangane ngaurip yaitu bayangan hidup manusia. Dalam suatu pertunjukan wayang, dapat dinalar dan dirasakan bagaimana kehidupan manusia itu dari lahir hingga mati. Perjalanan hidup manusia untuk berjuang menegakkan yang benar dengan mengalahkan yang salah. Dari pertujukan wayang dapat diperoleh pesan untuk hidup penuh amal saleh guna mendapatkan keridhoan Illahi.
Wayang juga dapat secara nyata menggambarkan konsepsi hidup sangkan paraning dumadi, manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali keharibaan-Nya. Banyak ditemui seni budaya semacam wayang yang dikenal dengan puppet show, namun yang seindah dan sedalam maknanya sulit menandingi Wayang Kulit Purwa.
Itulah asal usul wayang Indonesia, asli Indonesia yang senantiasa berkembang dari waktu ke waktu. Secara dinamis mengantisipasi perkembangan dan kemajuan zaman.

Wara-wara

wara-wara ing basa Indonesia diarani Pengumuman. Wara-wara tegese yaiku aweh kabar utawa aweh informasi marang wong liya (ing sawijing panggonan), kanthi ancas wong liya ngreti isine wara-wara.

Wujude wara-wara:
1. Lisan, wara-wara kang dibiwarake lumantar lisan utawa swara. Tuladhane lumantar media elektro kayata radio, TV, lsp
2. Tulisan, yaiku aweh weruh utawa kabar marang wong liya kang kababar lumantar tulisan. Tuladha ariwarti lan kalawarti.  

Jinise wara-wara:
1. wara-wara bab kegiyatan
2. wara-wara bab undangan
3. wara-wara bab lelayu

Bab kang prelu digatekake nalika nggawe wara-wara:
1. saka sapa wara-wara mau kababar
2. kanggo sapa wara-wara mau
3. suraane (isine) apa
4. kapan wara-wara mau digawe
5. kapan kagiyatan mau katindakake
6. ana ing ngendi mapane
7. sapa kang mandegani